Kamis, 16 Desember 2010

Perlindungan ham



PRINSIP – PRINSIP PERLINDUNGAN HAM

  1. Prinsip universalitas

Prinsip universal dimaksudkan bahwa hak asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam DUHAM Pasal 1: “All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Penggunaan istilah “all human beings” berarti bahwa “everyone (setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “ no one (tidak seorangpun)” boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. Penngunaan istilah yang menunjukkan prinsip universalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM lainnya seperti CCPR memnggunakan kata “every human beings” di PAsal 6, kata “every one” di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16, Pasal 17 (2), PAsal 18 (1), Pasal 19, dan PAsal 22. Sedangkan istilah “all person” dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, “anyone” di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta kata “no one” di Pasal 6,7,11,15, dan 17 (1). Di Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) juga dijumpai di hamper setiap pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal penggunaan istilah ”every person”, ”no one”, ”every one”, “any one” secara bergantian. Lebih menarik dalam salah satu ketentuan yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah “every minor child” yang menunjukkan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat dan Negara Amerika Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini. Sedangkan dalam African Charter on Human Rights and People’s Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu “every individual” dan “all peoples”. Istilah istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM pada region lainnya termasuk UU HAM Nomor 39 tahun 1999.

  1. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi non-discrimination

Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.

Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1 : “All human beings are born free and equal in dignity and rights…..”. Begitu pula yang disebutkan dalam CESCR Pasal 2 : “…..Everyone is entitled to al rights and freedoms set forth in this declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political, or other opinion, national, or social origion, property, birth or other status”. Perlindungan HAM di tingkat regional seperti benua Eropa, Amerika dan Afrika, prinsip equality ini juga diadobsi secara jelas. Di Amerika misalnya berdasarkan Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) yang ditandatangai di San Jose pada 22 November 1969 dan berlaku efektif sejak 18 Juli 1978 misalnya pada bagian Pembukaan disebutkan bahwa:

”The American States signatory to the present Convention,…..Recognizing that the essential rights of man are not derived from one’s being a national of a certain state but are based upon attributes of the human personality, and that they therefore justify international protection in the form of a Convention reinforcing or complementing the protection provided by the domestic law of American States.”

Dalam hal ini jelas bahwa dengan adanya Konvensi ini maka Negara Amerikat menyadari bahwa hak asasi manusia sesungguhnya bukan diturunkan oleh Negara dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia dan oleh karenannya menurut Konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat. Jadi jelas bahwa menurut Konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah AS berhak mendapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena mereka sebagai manusia meskipun orang-orang tersebut memiliki atau berasal dari kebangsaan yang berbeda.

Begitu pula di region Eropa melalui European Social Charter (Undang-Undang Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober 1961 dan berlaku efektif sejak 26 Februari 1965 pada Alenia III dinyatakan bahwa :

“The Governments signatory hereto, being Members of the Council of Europe,…..Considering that the enjoyment of social rights should be secured withouth discrimination on the grounds of race, colour, sex, religion, political opinion, national extraction or social origion.

Meskipun menurut UU HAM Eropa tidak secara tegas menyebut kata “Human Rights” melainkan memakai istilah yang lebih sempit yaitu “Social Rights”, namun jelas bahwa pelarangan diskriminasi karena alasan tertentu tidak dibenarkan dalam UU ini. Artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah yang menandatangai UU ini dan menjadi anggota dari Komisi Eropa ini.

Sementara itu menurut African Charter on Human Rights and People’s Rights (UU Afrika tentang HAM dan Hak-hak Manusia) pada bagian Pembukaan Alenia III dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya persatuan di Afrika maka kebebasan, persamaan, keadilan, peangkuan adalah tujuan yang terpenting dalam rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh rakyat Afrika. Jadi pengakuan prinsip equality dalam perlindungan HAM di Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang lebih solid.

Considering the Charter of the Organization of Africa Unity, which dispute that ‘freedom, equality, justice and dignity are essential objectives for achievement of the legitimate aspiration of the African peoples”.

Lalu bagaimana dengan Negara Islam seperti Arab Saudi, apakah HAM menampakkan wajah yang berbeda dalam pengakuan terhadap prinsip equality. Menurut The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan Alenia II dinyatakan bahwa:


“Having achievement the everlasting principles established by the Islamic Shari’a and the other divine religions enshrined in brotherhood and equality v amongst human beings”.

Meskipun Konvensi HAM di Arab ini baru disahkan pada tahun 1994, namun dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam mencapai prinsip yang telah ada dalam Hukum Islam (Islamic Shari’a) termasuk hidup berdampingin dengan beda agama. Sedangkan prinsip “tanpa diskriminasi” secara tegas dinyatakan dalam Bagian Kedua Pasal 2 bahkan secara eksplisit pelarangan diskriminasi terhadap pria dan wanita dinyatakan sebagai berkut:

“…that every individual located within its territory and subject to its jurisdiction, shall have the right to enjoy all rights and freedoms recognized in this (Charter), withouth distinction on th basis of race, colour, sex, age, religion, political, opinion, national or social orihion, wealth, birth, or other status, and without any discrimination between men and women.”

Sementara itu jika melihat prinsip equality di region Asia, maka oleh karena di region Asia tidak memiliki Konvensi khusus tentang HAM, perlu kiranya melihat Pengaturan HAM di beberapa Negara di Asia speerti Indonesia. Lalu bagaimana prinsip keadilan ini diadobsi oleh Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM? Sekalipun UU HAM lahir paling belakangan dibanding Peraturan HAM di beberapa region lainnya sebagaimana Penulis paparkan di atas, namun setidak-tidaknya perlu dicatat bahwa ada kehendak untuk secara serius memberikan penhormatan HAM terhadap seluruh rakyatnya dengan disahkannya UUHAM tersebut. Prinsip equality ini juga diakui dalam UU aquo sebagaimana tercantum dalam?

  1. Prinsip Pengakuan indivisibility and interdependence of different rights.

Bahwa dalam rangka memenuhi hak asasi manusia maka tidak dapat diisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan budaya. Karena ruang kingcup dari kedua bidang hak ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Artinya memastikan pemenunan standart minimal yaitu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sangat penting dalam upaya menjamin dapat menikmatinya hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dan politik juga tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam African Charter on Human Rights and Peoples’ Rights pada Pembukaan Alenia 9 :

”Conviced that it is henceforth essential to pay particular attention to the right to development and that civil and political rights cannot be dissociated from ecomonic, social and cultural rights in their conception as well as universality and that the satisfaction of economic, social and cultural rights is a guarantee for the enjoyment of civil and political rights”.

  1. Prinsip universalitas

Prinsip universal dimaksudkan bahwa hak asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam DUHAM Pasal 1: “All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Penggunaan istilah “all human beings” berarti bahwa “everyone (setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “ no one (tidak seorangpun)” boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. Penngunaan istilah yang menunjukkan prinsip universalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM lainnya seperti CCPR memnggunakan kata “every human beings” di PAsal 6, kata “every one” di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16, Pasal 17 (2), PAsal 18 (1), Pasal 19, dan PAsal 22. Sedangkan istilah “all person” dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, “anyone” di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta kata “no one” di Pasal 6,7,11,15, dan 17 (1). Di Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) juga dijumpai di hamper setiap pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal penggunaan istilah ”every person”, ”no one”, ”every one”, “any one” secara bergantian. Lebih menarik dalam salah satu ketentuan yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah “every minor child” yang menunjukkan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat dan Negara Amerika Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini. Sedangkan dalam African Charter on Human Rights and People’s Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu “every individual” dan “all peoples”. Istilah istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM pada region lainnya termasuk UU HAM Nomor 39 tahun 1999.

  1. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi non-discrimination

Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.

Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1 : “All human beings are born free and equal in dignity and rights…..”. Begitu pula yang disebutkan dalam CESCR Pasal 2 : “…..Everyone is entitled to al rights and freedoms set forth in this declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political, or other opinion, national, or social origion, property, birth or other status”. Perlindungan HAM di tingkat regional seperti benua Eropa, Amerika dan Afrika, prinsip equality ini juga diadobsi secara jelas. Di Amerika misalnya berdasarkan Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) yang ditandatangai di San Jose pada 22 November 1969 dan berlaku efektif sejak 18 Juli 1978 misalnya pada bagian Pembukaan disebutkan bahwa:

”The American States signatory to the present Convention,…..Recognizing that the essential rights of man are not derived from one’s being a national of a certain state but are based upon attributes of the human personality, and that they therefore justify international protection in the form of a Convention reinforcing or complementing the protection provided by the domestic law of American States.”

Dalam hal ini jelas bahwa dengan adanya Konvensi ini maka Negara Amerikat menyadari bahwa hak asasi manusia sesungguhnya bukan diturunkan oleh Negara dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia dan oleh karenannya menurut Konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat. Jadi jelas bahwa menurut Konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah AS berhak mendapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena mereka sebagai manusia meskipun orang-orang tersebut memiliki atau berasal dari kebangsaan yang berbeda.

Begitu pula di region Eropa melalui European Social Charter (Undang-Undang Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober 1961 dan berlaku efektif sejak 26 Februari 1965 pada Alenia III dinyatakan bahwa :

“The Governments signatory hereto, being Members of the Council of Europe,…..Considering that the enjoyment of social rights should be secured withouth discrimination on the grounds of race, colour, sex, religion, political opinion, national extraction or social origion.

Meskipun menurut UU HAM Eropa tidak secara tegas menyebut kata “Human Rights” melainkan memakai istilah yang lebih sempit yaitu “Social Rights”, namun jelas bahwa pelarangan diskriminasi karena alasan tertentu tidak dibenarkan dalam UU ini. Artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah yang menandatangai UU ini dan menjadi anggota dari Komisi Eropa ini.

Sementara itu menurut African Charter on Human Rights and People’s Rights (UU Afrika tentang HAM dan Hak-hak Manusia) pada bagian Pembukaan Alenia III dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya persatuan di Afrika maka kebebasan, persamaan, keadilan, peangkuan adalah tujuan yang terpenting dalam rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh rakyat Afrika. Jadi pengakuan prinsip equality dalam perlindungan HAM di Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang lebih solid.

Considering the Charter of the Organization of Africa Unity, which dispute that ‘freedom, equality, justice and dignity are essential objectives for achievement of the legitimate aspiration of the African peoples”.

Lalu bagaimana dengan Negara Islam seperti Arab Saudi, apakah HAM menampakkan wajah yang berbeda dalam pengakuan terhadap prinsip equality. Menurut The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan Alenia II dinyatakan bahwa:


“Having achievement the everlasting principles established by the Islamic Shari’a and the other divine religions enshrined in brotherhood and equality v amongst human beings”.

Meskipun Konvensi HAM di Arab ini baru disahkan pada tahun 1994, namun dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam mencapai prinsip yang telah ada dalam Hukum Islam (Islamic Shari’a) termasuk hidup berdampingin dengan beda agama. Sedangkan prinsip “tanpa diskriminasi” secara tegas dinyatakan dalam Bagian Kedua Pasal 2 bahkan secara eksplisit pelarangan diskriminasi terhadap pria dan wanita dinyatakan sebagai berkut:

“…that every individual located within its territory and subject to its jurisdiction, shall have the right to enjoy all rights and freedoms recognized in this (Charter), withouth distinction on th basis of race, colour, sex, age, religion, political, opinion, national or social orihion, wealth, birth, or other status, and without any discrimination between men and women.”

Sementara itu jika melihat prinsip equality di region Asia, maka oleh karena di region Asia tidak memiliki Konvensi khusus tentang HAM, perlu kiranya melihat Pengaturan HAM di beberapa Negara di Asia speerti Indonesia. Lalu bagaimana prinsip keadilan ini diadobsi oleh Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM? Sekalipun UU HAM lahir paling belakangan dibanding Peraturan HAM di beberapa region lainnya sebagaimana Penulis paparkan di atas, namun setidak-tidaknya perlu dicatat bahwa ada kehendak untuk secara serius memberikan penhormatan HAM terhadap seluruh rakyatnya dengan disahkannya UUHAM tersebut. Prinsip equality ini juga diakui dalam UU aquo sebagaimana tercantum dalam?

  1. Prinsip Pengakuan indivisibility and interdependence of different rights.

Bahwa dalam rangka memenuhi hak asasi manusia maka tidak dapat diisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan budaya. Karena ruang kingcup dari kedua bidang hak ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Artinya memastikan pemenunan standart minimal yaitu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sangat penting dalam upaya menjamin dapat menikmatinya hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dan politik juga tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam African Charter on Human Rights and Peoples’ Rights pada Pembukaan Alenia 9 :

”Conviced that it is henceforth essential to pay particular attention to the right to development and that civil and political rights cannot be dissociated from ecomonic, social and cultural rights in their conception as well as universality and that the satisfaction of economic, social and cultural rights is a guarantee for the enjoyment of civil and political rights”.

  1. Prinsip universalitas

Prinsip universal dimaksudkan bahwa hak asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam DUHAM Pasal 1: “All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Penggunaan istilah “all human beings” berarti bahwa “everyone (setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “ no one (tidak seorangpun)” boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. Penngunaan istilah yang menunjukkan prinsip universalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM lainnya seperti CCPR memnggunakan kata “every human beings” di PAsal 6, kata “every one” di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16, Pasal 17 (2), PAsal 18 (1), Pasal 19, dan PAsal 22. Sedangkan istilah “all person” dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, “anyone” di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta kata “no one” di Pasal 6,7,11,15, dan 17 (1). Di Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) juga dijumpai di hamper setiap pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal penggunaan istilah ”every person”, ”no one”, ”every one”, “any one” secara bergantian. Lebih menarik dalam salah satu ketentuan yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah “every minor child” yang menunjukkan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat dan Negara Amerika Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini. Sedangkan dalam African Charter on Human Rights and People’s Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu “every individual” dan “all peoples”. Istilah istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM pada region lainnya termasuk UU HAM Nomor 39 tahun 1999.

  1. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi non-discrimination

Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.

Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1 : “All human beings are born free and equal in dignity and rights…..”. Begitu pula yang disebutkan dalam CESCR Pasal 2 : “…..Everyone is entitled to al rights and freedoms set forth in this declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political, or other opinion, national, or social origion, property, birth or other status”. Perlindungan HAM di tingkat regional seperti benua Eropa, Amerika dan Afrika, prinsip equality ini juga diadobsi secara jelas. Di Amerika misalnya berdasarkan Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) yang ditandatangai di San Jose pada 22 November 1969 dan berlaku efektif sejak 18 Juli 1978 misalnya pada bagian Pembukaan disebutkan bahwa:

”The American States signatory to the present Convention,…..Recognizing that the essential rights of man are not derived from one’s being a national of a certain state but are based upon attributes of the human personality, and that they therefore justify international protection in the form of a Convention reinforcing or complementing the protection provided by the domestic law of American States.”

Dalam hal ini jelas bahwa dengan adanya Konvensi ini maka Negara Amerikat menyadari bahwa hak asasi manusia sesungguhnya bukan diturunkan oleh Negara dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia dan oleh karenannya menurut Konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat. Jadi jelas bahwa menurut Konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah AS berhak mendapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena mereka sebagai manusia meskipun orang-orang tersebut memiliki atau berasal dari kebangsaan yang berbeda.

Begitu pula di region Eropa melalui European Social Charter (Undang-Undang Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober 1961 dan berlaku efektif sejak 26 Februari 1965 pada Alenia III dinyatakan bahwa :

“The Governments signatory hereto, being Members of the Council of Europe,…..Considering that the enjoyment of social rights should be secured withouth discrimination on the grounds of race, colour, sex, religion, political opinion, national extraction or social origion.

Meskipun menurut UU HAM Eropa tidak secara tegas menyebut kata “Human Rights” melainkan memakai istilah yang lebih sempit yaitu “Social Rights”, namun jelas bahwa pelarangan diskriminasi karena alasan tertentu tidak dibenarkan dalam UU ini. Artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah yang menandatangai UU ini dan menjadi anggota dari Komisi Eropa ini.

Sementara itu menurut African Charter on Human Rights and People’s Rights (UU Afrika tentang HAM dan Hak-hak Manusia) pada bagian Pembukaan Alenia III dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya persatuan di Afrika maka kebebasan, persamaan, keadilan, peangkuan adalah tujuan yang terpenting dalam rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh rakyat Afrika. Jadi pengakuan prinsip equality dalam perlindungan HAM di Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang lebih solid.

Considering the Charter of the Organization of Africa Unity, which dispute that ‘freedom, equality, justice and dignity are essential objectives for achievement of the legitimate aspiration of the African peoples”.

Lalu bagaimana dengan Negara Islam seperti Arab Saudi, apakah HAM menampakkan wajah yang berbeda dalam pengakuan terhadap prinsip equality. Menurut The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan Alenia II dinyatakan bahwa:


“Having achievement the everlasting principles established by the Islamic Shari’a and the other divine religions enshrined in brotherhood and equality v amongst human beings”.

Meskipun Konvensi HAM di Arab ini baru disahkan pada tahun 1994, namun dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam mencapai prinsip yang telah ada dalam Hukum Islam (Islamic Shari’a) termasuk hidup berdampingin dengan beda agama. Sedangkan prinsip “tanpa diskriminasi” secara tegas dinyatakan dalam Bagian Kedua Pasal 2 bahkan secara eksplisit pelarangan diskriminasi terhadap pria dan wanita dinyatakan sebagai berkut:

“…that every individual located within its territory and subject to its jurisdiction, shall have the right to enjoy all rights and freedoms recognized in this (Charter), withouth distinction on th basis of race, colour, sex, age, religion, political, opinion, national or social orihion, wealth, birth, or other status, and without any discrimination between men and women.”

Sementara itu jika melihat prinsip equality di region Asia, maka oleh karena di region Asia tidak memiliki Konvensi khusus tentang HAM, perlu kiranya melihat Pengaturan HAM di beberapa Negara di Asia speerti Indonesia. Lalu bagaimana prinsip keadilan ini diadobsi oleh Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM? Sekalipun UU HAM lahir paling belakangan dibanding Peraturan HAM di beberapa region lainnya sebagaimana Penulis paparkan di atas, namun setidak-tidaknya perlu dicatat bahwa ada kehendak untuk secara serius memberikan penhormatan HAM terhadap seluruh rakyatnya dengan disahkannya UUHAM tersebut. Prinsip equality ini juga diakui dalam UU aquo sebagaimana tercantum dalam?

  1. Prinsip Pengakuan indivisibility and interdependence of different rights.

Bahwa dalam rangka memenuhi hak asasi manusia maka tidak dapat diisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan budaya. Karena ruang kingcup dari kedua bidang hak ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Artinya memastikan pemenunan standart minimal yaitu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sangat penting dalam upaya menjamin dapat menikmatinya hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dan politik juga tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam African Charter on Human Rights and Peoples’ Rights pada Pembukaan Alenia 9 :

”Conviced that it is henceforth essential to pay particular attention to the right to development and that civil and political rights cannot be dissociated from ecomonic, social and cultural rights in their conception as well as universality and that the satisfaction of economic, social and cultural rights is a guarantee for the enjoyment of civil and political rights”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar