Kamis, 16 Desember 2010

Kedaulatan rakyat


MAKNA KEDAULATAN RAKYAT

1. Hakikat Kedaulatan

Kedaulatan berasal dari kata daulat yang artinya kekuasaan atau pemerintahan. Berdaulat berarti mempunyai kekuasaan penuh (kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu pemerintahan. Dengan demikian Negara yang berdaulat adalah suatu negara yang telah mendapatkan kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahannya. Tidak ada kekuasaan lain yang dapat mendikte dan mengontrol negara tersebut.

Seperti di dalam suatu rumah tangga, seluruh anggota keluarga mempunyai kebebasan untuk mengatur rumah tangga tersebut, baik bentuk rumah, tata ruangnya maupun pernik-pernik yang akan dipasang dalam rumah tersebut. Semua itu dilakukan untuk kesejahteraan dan kenyamanan seluruh penghuni rumah. Demikian pula negara yang berdaulat mempunyai kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Kedaulatan dalam bahasa Inggris disebut sovereignity. Harold J. Laski mengatakan yang dimaksud dengan kedaulatan (sovereignity) adalah kekuasaan yang sah (menurut hukum) yang tertinggi, kekuasaan tersebut meliputi segenap orang maupun golongan yang ada dalam masyarakat yang dikuasainya. Sedangkan C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution menyatakan sovereignity adalah kekuasaan untuk membentuk hukum serta kekuasaan untuk memaksakan pelaksanaannya.

Dari pengertian sederhana itu disimpulkan bahwa yang dimaksud kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang harus dimiliki oleh negara. Memiliki kekuasaan tertinggi berarti negara harus dapat menentukan kehendaknya sendiri serta mampu melaksanakannya. Kehendak Negara tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk hukum. Kemampuan untuk melaksanakan sistem hukum dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara paksaan. Oleh sebab itu, dalam kedaulatan terkandung makna kekuatan. Kedaulatan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Kedaulatan ke dalam (internal sovereignity), yaitu negara berhak mengatur segala kepentingan rakyat melalui berbagai lembaga Negara dan perangkat lainnya tanpa campur tangan negara lain.

b. Kedaulatan ke luar (external sovereignity) yaitu negara berhak untuk mengadakan hubungan atau kerjasama dengan negara-negara lain, untuk kepentingan bangsa dan negara.

Menurut Jean Bodin, kedaulatan mempunyai empat sifat sebagai berikut.

a. Permanen, yaitu kedaulatan itu tetap ada selama negara itu berdiri.

b. Asli, yaitu kedaulatan itu tidak berasal dari kekuasaan lain.

c. Bulat, artinya kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan itu merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam negara.

d. Tidak terbatas, yaitu kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa pun, sebab apabila kedaulatan itu terbatas maka kekuasaan tertinggi akan lenyap.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat, karena kedaulatan yang diperoleh bangsa Indonesia tidak berasal dari pemberian pendudukan Jepang. Kedaulatan Negara Indonesia merupakan basil perjuangan yang panjang mulai masa kolonialisme hingga pendudukan Jepang. Kedaulatan itu sesungguhnya akan tetap berdiri kokoh selama negara kita terintegrasi secara keseluruhan.

Di samping telah memenuhi sifat-sifat kedaulatan, negara Indonesia juga telah memenuhi unsur-unsur berdirinya suatu negara. Suatu bangsa disebut sebagai suatu Negara bila memenuhi unsur-unsur di bawah ini.

a. Adanya rakyat yang bersatu

Rakyat merupakan unsur terpenting dari suatu negara, karena rakyatlah yang pertama kali mempunyai kehendak untuk membentuk negara. Rakyat adalah sekumpulan atau keseluruhan orang yang berada dan berdiam dalam suatu negara atau menjadi penghuni negara dan tunduk pada kekuasan negara itu.

b. Adanya wilayah

Wilayah suatu negara merupakan tempat tinggal rakyat dan tempat berlangsungnya pemerintahan yang berdaulat. Wilayah suatu Negara meliputi daratan, lautan, maupun udara. Daratan adalah wilayah di permukaan bumi dengan batas-batas tertentu. Lautan merupakan perairan yang berupa samudera, laut, selat, danau dan sungai. Sedangkan udara meliputi wilayah yang berada di permukaan bumi di atas wilayah darat dan laut.

c. Pemerintah yang berdaulat

Pemerintah yang berdaulat yaitu pemerintah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang dihormati dan ditaati oleh rakyat dalam Negara itu maupun negara-negara lain.

d. Pengakuan dari negara lain

Suatu negara yang sudah berdaulat membutuhkan pengakuan dari negara lain karena adanya kebutuhan akan kelangsungan hidup Negara tersebut, dan ancaman baik yang berasal dari dalam maupun intervensi dari negara lain. Disamping itu pengakuan dari negara lain diperlukan karena suatu negara tidak dapat bertahan hidup tanpa bantuan dan kerja sama dengan negara lain.

2. Macam-Macam Kedaulatan

Dalam menjalankan kekuasaannya, setiap negara mempunyai caracara yang berbeda. Oleh sebab itu, kedaulatan suatu negara juga ada bermacam-macam. Di bawah ini akan dibahas beberapa teori kedaulatan.

a. Kedaulatan Tuhan

Menurut teori ini, kedaulatan berasal dari Tuhan yang diberikan :epada raja atau penguasa. Karena kehendak Tuhan menjelma ke dalam diri raja atau penguasa, maka seorang raja dianggap sebagai utusan Tuhan atau wakil Tuhan (titisan dewa). Segala peraturan yang dijalankan oleh penguasa bersumber dari Tuhan, oleh sebab itu rakyat harus patuh dan tunduk kepada perintah penguasa. Penganut paham ini adalah Agustinus, Thomas Aquinas, Marsillius, dan F.J. Stahl. Teori kedaulatan Tuhan pernah diterapkan di Ethiopia pada masa Raja Haile Selassi, Belanda, dan Jepang pada masa Kaisar Tenno Heika.

b. Kedaulatan Raja

Kedaulatan suatu negara terletak di tangan raja, karena raja merupakan penjelmaan kehendak Tuhan dan juga bayangan dari Tuhan. Agar negara kuat dan kokoh, seorang raja harus mempunyai kekuasaan yang kuat dan tidak terbatas sehingga rakyat harus re1a menyerahkan hak-haknya dan kekuasaannya kepada raja. Tokoh-tokoh yang mempunyai paham kedaulatan raja adalah Niccolo Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes dan F. Hegel. teori ini pernah diterapkan di Perancis pada masa Raja Louis XIV. Pada zaman modern model kekuasaan ini telah ditinggalkan negara-negara di dunia, karena kedaulatan raja cenderung menciptakan kekuasaan yang tidak terbatas (absolut), sewenang-wenang dan otoriter.

c. Kedaulatan Negara

Berdasarkan teori ini kekuasaan pemerintahan bersumber dari kedaulatan negara. Karena sumber kedaulatan dari negara, maka Negara dianggap memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, dan kekuasaan itu diserahkan kepada raja atas nama negara. Negara berhak untuk membuat aturan hukum, oleh sebab itu negara tidak wajib tunduk kerada hukum. Penganut teori kedaulatan negara adalah George Jellinek dan Paul Laband. Teori kedaulatan ini pernah diberlakukan Rusia pada masa kekuasaan Tsar dan Jerman pada masa Hitler, serta Italia pada saat Mussolini berkuasa.

d. Kedaulatan Hukum

Menurut teori ini kekuasaan hukum (rechts souvereiniteit) merupakan kekuasaan tertinggi. Kekuasaan negara harus bersumber pada hukum, sedangkan hukum bersumber pada rasa keadilan pan kesadaran hukum. Berdasarkan teori ini suatu negara diharapkan menjadi Negara hukum, artinya semua tindakan penyelenggara negara dan rakyat harus berdasarkan hukum yang berlaku. Penganut tecri ini adalah H. Krabbe, Immanuel Kant, dan Kranenburg. Sebagian besar negara-negara di Eropa dan Amerika menggunakan tecri kedaulatan hukum.

e . Kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat memberikan kekuasaannya kepada penguasa untuk menjalankan pemerintahan melalui sebuah perjanjian yang disebut kontrak social. Penguasa negara dipilih dan ditentukan atas kehendak rakyat melalui perwakilan yang duduk dalam pemerintahan.

Demikian pula sebaliknya, penguasa negara harus mengakui dan melindungi hak-hak rakyat serta menjalankan pemerintahan berdasarkan aspirasi rakyat. Apabila penguasa negara tidak dapat menjamin hak-hak rakyat dan tidak bisa memenuhi aspirasi rakyat, maka rakyat dapat mengganti penguasa tersebut dengan penguasa yang baru. Penganut teori ini adalah Solon, John Locke, Montesquieu dan J.J. Rousseau. Teori kedaulatan rakyat hampir diterapkan di seluruh dunia, namun pelaksanaannya tergantung pada rezim yang berkuasa, ideologi dan kebudayaan masing-masing negara.

3. Kedaulatan Rakyat

Rakyat merupakan unsur yang pertama kali berkehendak membentuk suatu negara, dan rakyat pulalah yang merencanakan, merintis, mengendalikan dan menyelenggarakan pemerintahan negara. Oleh sebab itulah rakyat merupakan faktor terpenting dan utama dalam pembentukan suatu negara. Rakyat dalam hal ini dapat diartikan sebagai sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa solidaritas dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.

Rakyat dapat dibedakan menjadi dua macam yakni:

a. Penduduk, yaitu mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam suatu wilayah negara (menetap). Mereka disebut penduduk karena orang-orang tersebut lahir secara turun-temurun, berkembang dan besar di dalam suatu negara tertentu.

b. Bukan penduduk, yaitu mereka yang berada di dalam suatu wilayah negara hanya untuk sementara waktu. Misalnya para turis mancanegara, orang-orang asing yang bekerja dalam suatu Negara tertentu, orang-orang asing yang belajar dalam suatu negara tertentu maupun tamu-tamu instansi tertentu.

Pembagian di atas pada hakikatnya didasarkan pada hak dan kewajiban. Seseorang yang berstatus sebagai penduduk mempunyai hak untuk mendapatkan identitas yang sah. Misalnya di Indonesia setiap orang yang berusia 17 tahun berhak mendapat KTP (Kartu Tanda Penduduk). Sedangkan rakyat berdasarkan hubungannya dengan pemerintahan dapat pula dibedakan menjadi dua yakni:

a. Warga negara, yaitu mereka yang berdasarkan hukum tertentu dianggap bagian sah dari suatu negara. Atau dengan kata lain warga negara adalah mereka yang menurut undang-undang atau perjanjian diakui sebagai warga negara melalui proses naturalisasi.

b. Bukan warga negara (orang asing), yaitu mereka yang berada pada suatu negara tetapi secara hukum tidak menjadi anggota Negara yang bersangkutan, namun tunduk pada pemerintah di mana mereka berada. Misalnya duta besar, konsuler, kontraktor asing, pekerja asing, dan lain sebagainya.

Warga negara atau bukan warga negara mempunyai konsekuensi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari hak dan kewajibannya. Seorang warga negara mempunyai hak-hak tertentu dalam suatu negara, missal hak ikut berkumpul, bersuara dalam partai politik atau ikut serta dalam pemilihan umum. Sedangkan yang bukan warga negara tidak diberi hakhak tersebut. Untuk menjelaskan teori asal-mula negara kita akan membahas pendapat dari beberapa pakar, seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.

a. Thomas Hobbes (1588-1679)

Menurut Hobbes, kehidupan manusia terpisah ke dalam dua zaman. yaitu keadaan sebelum adanya negara dan keadaan setelah ada negara. Keadaan sebelum ada negara atau keadaan alamiah bukan merupakan keadaan yang aman, sentosa, adil dan makmur, tetapi merupakan keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu.

b. John Locke (1632-1704)

Menurut John Locke keadaan alamiah adalah suatu keadaan di mana orang dapat hidup dengan bebas dan sederajat menurut kehendak hatinya sendiri. Keadaan alamiah ini sudah bersifat sosial, karena manusia hidup rukun dan tenteram sesuai dengan hukum akal budi (law of reason) yang mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mengganggu hidup, kebebasankebebasan dan hak milik sesamanya.

c. Jean Jacques Rousseau (1712-1778)

Istilah kontrak sosial sebenarnya digunakan pertama kali oleh Rousseau. Dia memberi arti kontrak sosial berbeda dengan yang lain. Rousseau memisahkan suasana kehidupan manusia dalam dua zaman, yaitu zaman sebelum terbentuknya negara atau zaman pranegara dengan zaman bernegara. Keadaan alamiah diumpamakan sebagai keadaan sebelum manusia melakukan dosa, yaitu suatu keadaan yang aman dan bahagia. Dalam keadaan alamiah hidup setiap orang bebas dan sederajat menyerupai keadaan di taman firdaus. Namun karena keadaan alamiah itu tidak dapat dipertahankan seterusnya, maka manusia dengan penuh kesadaran mengakhiri keadaan itu dengan suatu kontrak sosial.

Perlindungan ham



PRINSIP – PRINSIP PERLINDUNGAN HAM

  1. Prinsip universalitas

Prinsip universal dimaksudkan bahwa hak asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam DUHAM Pasal 1: “All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Penggunaan istilah “all human beings” berarti bahwa “everyone (setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “ no one (tidak seorangpun)” boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. Penngunaan istilah yang menunjukkan prinsip universalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM lainnya seperti CCPR memnggunakan kata “every human beings” di PAsal 6, kata “every one” di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16, Pasal 17 (2), PAsal 18 (1), Pasal 19, dan PAsal 22. Sedangkan istilah “all person” dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, “anyone” di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta kata “no one” di Pasal 6,7,11,15, dan 17 (1). Di Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) juga dijumpai di hamper setiap pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal penggunaan istilah ”every person”, ”no one”, ”every one”, “any one” secara bergantian. Lebih menarik dalam salah satu ketentuan yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah “every minor child” yang menunjukkan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat dan Negara Amerika Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini. Sedangkan dalam African Charter on Human Rights and People’s Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu “every individual” dan “all peoples”. Istilah istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM pada region lainnya termasuk UU HAM Nomor 39 tahun 1999.

  1. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi non-discrimination

Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.

Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1 : “All human beings are born free and equal in dignity and rights…..”. Begitu pula yang disebutkan dalam CESCR Pasal 2 : “…..Everyone is entitled to al rights and freedoms set forth in this declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political, or other opinion, national, or social origion, property, birth or other status”. Perlindungan HAM di tingkat regional seperti benua Eropa, Amerika dan Afrika, prinsip equality ini juga diadobsi secara jelas. Di Amerika misalnya berdasarkan Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) yang ditandatangai di San Jose pada 22 November 1969 dan berlaku efektif sejak 18 Juli 1978 misalnya pada bagian Pembukaan disebutkan bahwa:

”The American States signatory to the present Convention,…..Recognizing that the essential rights of man are not derived from one’s being a national of a certain state but are based upon attributes of the human personality, and that they therefore justify international protection in the form of a Convention reinforcing or complementing the protection provided by the domestic law of American States.”

Dalam hal ini jelas bahwa dengan adanya Konvensi ini maka Negara Amerikat menyadari bahwa hak asasi manusia sesungguhnya bukan diturunkan oleh Negara dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia dan oleh karenannya menurut Konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat. Jadi jelas bahwa menurut Konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah AS berhak mendapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena mereka sebagai manusia meskipun orang-orang tersebut memiliki atau berasal dari kebangsaan yang berbeda.

Begitu pula di region Eropa melalui European Social Charter (Undang-Undang Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober 1961 dan berlaku efektif sejak 26 Februari 1965 pada Alenia III dinyatakan bahwa :

“The Governments signatory hereto, being Members of the Council of Europe,…..Considering that the enjoyment of social rights should be secured withouth discrimination on the grounds of race, colour, sex, religion, political opinion, national extraction or social origion.

Meskipun menurut UU HAM Eropa tidak secara tegas menyebut kata “Human Rights” melainkan memakai istilah yang lebih sempit yaitu “Social Rights”, namun jelas bahwa pelarangan diskriminasi karena alasan tertentu tidak dibenarkan dalam UU ini. Artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah yang menandatangai UU ini dan menjadi anggota dari Komisi Eropa ini.

Sementara itu menurut African Charter on Human Rights and People’s Rights (UU Afrika tentang HAM dan Hak-hak Manusia) pada bagian Pembukaan Alenia III dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya persatuan di Afrika maka kebebasan, persamaan, keadilan, peangkuan adalah tujuan yang terpenting dalam rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh rakyat Afrika. Jadi pengakuan prinsip equality dalam perlindungan HAM di Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang lebih solid.

Considering the Charter of the Organization of Africa Unity, which dispute that ‘freedom, equality, justice and dignity are essential objectives for achievement of the legitimate aspiration of the African peoples”.

Lalu bagaimana dengan Negara Islam seperti Arab Saudi, apakah HAM menampakkan wajah yang berbeda dalam pengakuan terhadap prinsip equality. Menurut The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan Alenia II dinyatakan bahwa:


“Having achievement the everlasting principles established by the Islamic Shari’a and the other divine religions enshrined in brotherhood and equality v amongst human beings”.

Meskipun Konvensi HAM di Arab ini baru disahkan pada tahun 1994, namun dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam mencapai prinsip yang telah ada dalam Hukum Islam (Islamic Shari’a) termasuk hidup berdampingin dengan beda agama. Sedangkan prinsip “tanpa diskriminasi” secara tegas dinyatakan dalam Bagian Kedua Pasal 2 bahkan secara eksplisit pelarangan diskriminasi terhadap pria dan wanita dinyatakan sebagai berkut:

“…that every individual located within its territory and subject to its jurisdiction, shall have the right to enjoy all rights and freedoms recognized in this (Charter), withouth distinction on th basis of race, colour, sex, age, religion, political, opinion, national or social orihion, wealth, birth, or other status, and without any discrimination between men and women.”

Sementara itu jika melihat prinsip equality di region Asia, maka oleh karena di region Asia tidak memiliki Konvensi khusus tentang HAM, perlu kiranya melihat Pengaturan HAM di beberapa Negara di Asia speerti Indonesia. Lalu bagaimana prinsip keadilan ini diadobsi oleh Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM? Sekalipun UU HAM lahir paling belakangan dibanding Peraturan HAM di beberapa region lainnya sebagaimana Penulis paparkan di atas, namun setidak-tidaknya perlu dicatat bahwa ada kehendak untuk secara serius memberikan penhormatan HAM terhadap seluruh rakyatnya dengan disahkannya UUHAM tersebut. Prinsip equality ini juga diakui dalam UU aquo sebagaimana tercantum dalam?

  1. Prinsip Pengakuan indivisibility and interdependence of different rights.

Bahwa dalam rangka memenuhi hak asasi manusia maka tidak dapat diisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan budaya. Karena ruang kingcup dari kedua bidang hak ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Artinya memastikan pemenunan standart minimal yaitu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sangat penting dalam upaya menjamin dapat menikmatinya hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dan politik juga tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam African Charter on Human Rights and Peoples’ Rights pada Pembukaan Alenia 9 :

”Conviced that it is henceforth essential to pay particular attention to the right to development and that civil and political rights cannot be dissociated from ecomonic, social and cultural rights in their conception as well as universality and that the satisfaction of economic, social and cultural rights is a guarantee for the enjoyment of civil and political rights”.

  1. Prinsip universalitas

Prinsip universal dimaksudkan bahwa hak asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam DUHAM Pasal 1: “All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Penggunaan istilah “all human beings” berarti bahwa “everyone (setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “ no one (tidak seorangpun)” boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. Penngunaan istilah yang menunjukkan prinsip universalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM lainnya seperti CCPR memnggunakan kata “every human beings” di PAsal 6, kata “every one” di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16, Pasal 17 (2), PAsal 18 (1), Pasal 19, dan PAsal 22. Sedangkan istilah “all person” dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, “anyone” di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta kata “no one” di Pasal 6,7,11,15, dan 17 (1). Di Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) juga dijumpai di hamper setiap pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal penggunaan istilah ”every person”, ”no one”, ”every one”, “any one” secara bergantian. Lebih menarik dalam salah satu ketentuan yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah “every minor child” yang menunjukkan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat dan Negara Amerika Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini. Sedangkan dalam African Charter on Human Rights and People’s Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu “every individual” dan “all peoples”. Istilah istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM pada region lainnya termasuk UU HAM Nomor 39 tahun 1999.

  1. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi non-discrimination

Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.

Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1 : “All human beings are born free and equal in dignity and rights…..”. Begitu pula yang disebutkan dalam CESCR Pasal 2 : “…..Everyone is entitled to al rights and freedoms set forth in this declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political, or other opinion, national, or social origion, property, birth or other status”. Perlindungan HAM di tingkat regional seperti benua Eropa, Amerika dan Afrika, prinsip equality ini juga diadobsi secara jelas. Di Amerika misalnya berdasarkan Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) yang ditandatangai di San Jose pada 22 November 1969 dan berlaku efektif sejak 18 Juli 1978 misalnya pada bagian Pembukaan disebutkan bahwa:

”The American States signatory to the present Convention,…..Recognizing that the essential rights of man are not derived from one’s being a national of a certain state but are based upon attributes of the human personality, and that they therefore justify international protection in the form of a Convention reinforcing or complementing the protection provided by the domestic law of American States.”

Dalam hal ini jelas bahwa dengan adanya Konvensi ini maka Negara Amerikat menyadari bahwa hak asasi manusia sesungguhnya bukan diturunkan oleh Negara dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia dan oleh karenannya menurut Konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat. Jadi jelas bahwa menurut Konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah AS berhak mendapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena mereka sebagai manusia meskipun orang-orang tersebut memiliki atau berasal dari kebangsaan yang berbeda.

Begitu pula di region Eropa melalui European Social Charter (Undang-Undang Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober 1961 dan berlaku efektif sejak 26 Februari 1965 pada Alenia III dinyatakan bahwa :

“The Governments signatory hereto, being Members of the Council of Europe,…..Considering that the enjoyment of social rights should be secured withouth discrimination on the grounds of race, colour, sex, religion, political opinion, national extraction or social origion.

Meskipun menurut UU HAM Eropa tidak secara tegas menyebut kata “Human Rights” melainkan memakai istilah yang lebih sempit yaitu “Social Rights”, namun jelas bahwa pelarangan diskriminasi karena alasan tertentu tidak dibenarkan dalam UU ini. Artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah yang menandatangai UU ini dan menjadi anggota dari Komisi Eropa ini.

Sementara itu menurut African Charter on Human Rights and People’s Rights (UU Afrika tentang HAM dan Hak-hak Manusia) pada bagian Pembukaan Alenia III dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya persatuan di Afrika maka kebebasan, persamaan, keadilan, peangkuan adalah tujuan yang terpenting dalam rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh rakyat Afrika. Jadi pengakuan prinsip equality dalam perlindungan HAM di Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang lebih solid.

Considering the Charter of the Organization of Africa Unity, which dispute that ‘freedom, equality, justice and dignity are essential objectives for achievement of the legitimate aspiration of the African peoples”.

Lalu bagaimana dengan Negara Islam seperti Arab Saudi, apakah HAM menampakkan wajah yang berbeda dalam pengakuan terhadap prinsip equality. Menurut The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan Alenia II dinyatakan bahwa:


“Having achievement the everlasting principles established by the Islamic Shari’a and the other divine religions enshrined in brotherhood and equality v amongst human beings”.

Meskipun Konvensi HAM di Arab ini baru disahkan pada tahun 1994, namun dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam mencapai prinsip yang telah ada dalam Hukum Islam (Islamic Shari’a) termasuk hidup berdampingin dengan beda agama. Sedangkan prinsip “tanpa diskriminasi” secara tegas dinyatakan dalam Bagian Kedua Pasal 2 bahkan secara eksplisit pelarangan diskriminasi terhadap pria dan wanita dinyatakan sebagai berkut:

“…that every individual located within its territory and subject to its jurisdiction, shall have the right to enjoy all rights and freedoms recognized in this (Charter), withouth distinction on th basis of race, colour, sex, age, religion, political, opinion, national or social orihion, wealth, birth, or other status, and without any discrimination between men and women.”

Sementara itu jika melihat prinsip equality di region Asia, maka oleh karena di region Asia tidak memiliki Konvensi khusus tentang HAM, perlu kiranya melihat Pengaturan HAM di beberapa Negara di Asia speerti Indonesia. Lalu bagaimana prinsip keadilan ini diadobsi oleh Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM? Sekalipun UU HAM lahir paling belakangan dibanding Peraturan HAM di beberapa region lainnya sebagaimana Penulis paparkan di atas, namun setidak-tidaknya perlu dicatat bahwa ada kehendak untuk secara serius memberikan penhormatan HAM terhadap seluruh rakyatnya dengan disahkannya UUHAM tersebut. Prinsip equality ini juga diakui dalam UU aquo sebagaimana tercantum dalam?

  1. Prinsip Pengakuan indivisibility and interdependence of different rights.

Bahwa dalam rangka memenuhi hak asasi manusia maka tidak dapat diisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan budaya. Karena ruang kingcup dari kedua bidang hak ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Artinya memastikan pemenunan standart minimal yaitu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sangat penting dalam upaya menjamin dapat menikmatinya hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dan politik juga tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam African Charter on Human Rights and Peoples’ Rights pada Pembukaan Alenia 9 :

”Conviced that it is henceforth essential to pay particular attention to the right to development and that civil and political rights cannot be dissociated from ecomonic, social and cultural rights in their conception as well as universality and that the satisfaction of economic, social and cultural rights is a guarantee for the enjoyment of civil and political rights”.

  1. Prinsip universalitas

Prinsip universal dimaksudkan bahwa hak asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam DUHAM Pasal 1: “All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Penggunaan istilah “all human beings” berarti bahwa “everyone (setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “ no one (tidak seorangpun)” boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. Penngunaan istilah yang menunjukkan prinsip universalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM lainnya seperti CCPR memnggunakan kata “every human beings” di PAsal 6, kata “every one” di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16, Pasal 17 (2), PAsal 18 (1), Pasal 19, dan PAsal 22. Sedangkan istilah “all person” dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, “anyone” di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta kata “no one” di Pasal 6,7,11,15, dan 17 (1). Di Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) juga dijumpai di hamper setiap pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal penggunaan istilah ”every person”, ”no one”, ”every one”, “any one” secara bergantian. Lebih menarik dalam salah satu ketentuan yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah “every minor child” yang menunjukkan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat dan Negara Amerika Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini. Sedangkan dalam African Charter on Human Rights and People’s Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu “every individual” dan “all peoples”. Istilah istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM pada region lainnya termasuk UU HAM Nomor 39 tahun 1999.

  1. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi non-discrimination

Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.

Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1 : “All human beings are born free and equal in dignity and rights…..”. Begitu pula yang disebutkan dalam CESCR Pasal 2 : “…..Everyone is entitled to al rights and freedoms set forth in this declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political, or other opinion, national, or social origion, property, birth or other status”. Perlindungan HAM di tingkat regional seperti benua Eropa, Amerika dan Afrika, prinsip equality ini juga diadobsi secara jelas. Di Amerika misalnya berdasarkan Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) yang ditandatangai di San Jose pada 22 November 1969 dan berlaku efektif sejak 18 Juli 1978 misalnya pada bagian Pembukaan disebutkan bahwa:

”The American States signatory to the present Convention,…..Recognizing that the essential rights of man are not derived from one’s being a national of a certain state but are based upon attributes of the human personality, and that they therefore justify international protection in the form of a Convention reinforcing or complementing the protection provided by the domestic law of American States.”

Dalam hal ini jelas bahwa dengan adanya Konvensi ini maka Negara Amerikat menyadari bahwa hak asasi manusia sesungguhnya bukan diturunkan oleh Negara dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia dan oleh karenannya menurut Konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat. Jadi jelas bahwa menurut Konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah AS berhak mendapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena mereka sebagai manusia meskipun orang-orang tersebut memiliki atau berasal dari kebangsaan yang berbeda.

Begitu pula di region Eropa melalui European Social Charter (Undang-Undang Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober 1961 dan berlaku efektif sejak 26 Februari 1965 pada Alenia III dinyatakan bahwa :

“The Governments signatory hereto, being Members of the Council of Europe,…..Considering that the enjoyment of social rights should be secured withouth discrimination on the grounds of race, colour, sex, religion, political opinion, national extraction or social origion.

Meskipun menurut UU HAM Eropa tidak secara tegas menyebut kata “Human Rights” melainkan memakai istilah yang lebih sempit yaitu “Social Rights”, namun jelas bahwa pelarangan diskriminasi karena alasan tertentu tidak dibenarkan dalam UU ini. Artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah yang menandatangai UU ini dan menjadi anggota dari Komisi Eropa ini.

Sementara itu menurut African Charter on Human Rights and People’s Rights (UU Afrika tentang HAM dan Hak-hak Manusia) pada bagian Pembukaan Alenia III dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya persatuan di Afrika maka kebebasan, persamaan, keadilan, peangkuan adalah tujuan yang terpenting dalam rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh rakyat Afrika. Jadi pengakuan prinsip equality dalam perlindungan HAM di Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang lebih solid.

Considering the Charter of the Organization of Africa Unity, which dispute that ‘freedom, equality, justice and dignity are essential objectives for achievement of the legitimate aspiration of the African peoples”.

Lalu bagaimana dengan Negara Islam seperti Arab Saudi, apakah HAM menampakkan wajah yang berbeda dalam pengakuan terhadap prinsip equality. Menurut The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan Alenia II dinyatakan bahwa:


“Having achievement the everlasting principles established by the Islamic Shari’a and the other divine religions enshrined in brotherhood and equality v amongst human beings”.

Meskipun Konvensi HAM di Arab ini baru disahkan pada tahun 1994, namun dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam mencapai prinsip yang telah ada dalam Hukum Islam (Islamic Shari’a) termasuk hidup berdampingin dengan beda agama. Sedangkan prinsip “tanpa diskriminasi” secara tegas dinyatakan dalam Bagian Kedua Pasal 2 bahkan secara eksplisit pelarangan diskriminasi terhadap pria dan wanita dinyatakan sebagai berkut:

“…that every individual located within its territory and subject to its jurisdiction, shall have the right to enjoy all rights and freedoms recognized in this (Charter), withouth distinction on th basis of race, colour, sex, age, religion, political, opinion, national or social orihion, wealth, birth, or other status, and without any discrimination between men and women.”

Sementara itu jika melihat prinsip equality di region Asia, maka oleh karena di region Asia tidak memiliki Konvensi khusus tentang HAM, perlu kiranya melihat Pengaturan HAM di beberapa Negara di Asia speerti Indonesia. Lalu bagaimana prinsip keadilan ini diadobsi oleh Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM? Sekalipun UU HAM lahir paling belakangan dibanding Peraturan HAM di beberapa region lainnya sebagaimana Penulis paparkan di atas, namun setidak-tidaknya perlu dicatat bahwa ada kehendak untuk secara serius memberikan penhormatan HAM terhadap seluruh rakyatnya dengan disahkannya UUHAM tersebut. Prinsip equality ini juga diakui dalam UU aquo sebagaimana tercantum dalam?

  1. Prinsip Pengakuan indivisibility and interdependence of different rights.

Bahwa dalam rangka memenuhi hak asasi manusia maka tidak dapat diisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan budaya. Karena ruang kingcup dari kedua bidang hak ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Artinya memastikan pemenunan standart minimal yaitu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sangat penting dalam upaya menjamin dapat menikmatinya hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dan politik juga tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam African Charter on Human Rights and Peoples’ Rights pada Pembukaan Alenia 9 :

”Conviced that it is henceforth essential to pay particular attention to the right to development and that civil and political rights cannot be dissociated from ecomonic, social and cultural rights in their conception as well as universality and that the satisfaction of economic, social and cultural rights is a guarantee for the enjoyment of civil and political rights”.

Rabu, 15 Desember 2010

Instrumen HAM



INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK AZASI MANUSIA

Latar Belakang Lahirnya Deklarasi Hak Asasi Manusia

Seperti telah kita ketahui bersama hak asasi manusia (HAM), merupakan hak yang melekat pada setiap manusia. Manusia itu di mana‑mana harkat dan martabatnya sama. Baik manusia yang kulitnya putih atau hitam, di negara maju atau berkembang pada dasarnya sama. Perbedaan bentuk fisik maupun tingkat kemajuan negaranya tidak menghalangi persamaan dalam HAM. HAM bukan pemberian negara atau pihak lain, tetapi merupakan pemberian sang pencipta manusia yaitu Tuhan Yang Maha ESa.

Bahwa HAM itu sesuatu yang sangat penting telah lama dinyatakan oleh para pemikir (filosof) maupun pencetus oleh berbagai negara di dunia. MisaInya pada jaman Yunani Kuno, Plato (428 ‑ 34 8 S M) telah memaklumkan kepada warga polisnya (negara kota), bahwa kesejahteraan bersama baru tercapai kalaul setiap warganya melaksanakan hak dan kewajibanya masing-masing. Juga Aristoteles (384 -322 SM) sering kali memberi nasehat kepada pengikutnya bahwa negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak.

Sedangkan contoh beberapa negara yang telah lama menyatakan jaminan HAM adalah Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Perjuangan HAM di Inggris dipelopori oleh kaum bangsawan Yang memaksa Raja untuk memberikan Magna Carta Liberatum pada tahun 1215, berisi larangan penahanan, penghukuman, dan perampasan benda dengan sewenang­ - wenang. Habeas Corpus pada tahun 1679, berisikan ketentuan bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan. Bill of Right pada tahun 1689, berisikan bahwa Raja William harus mengakui hak ‑ hak parlemen, sehingga Inggris menjadi negara pertama di dunia yang memilki sebuah konstitusi dalam arti modern.

Di Amerika pada bulan Juli 1776 dideklarasikan, Declaration of Independence (Pernyataan Kemerdekaaan) oleh ketiga belas negara Amerika yang menyatakan : bahwa semua orang diciptakan sama, dikarunia oleh Khaliknya dengan hak‑hak tertentu yang tidak dapat dialihkan, diantaranya adalah hak hidup, hak kebebasan dan hak mengejar kebahagiaan.

Di Perancis pada tahun 1789 dideklarasikan Declaration des droit de I”hommes et du citoyen (Pernyataan Hak ‑ hak Manusia dan Warga Negara). Disebutkan dalam pernyatan itu bahwa "manusia lahir bebas dengan hak‑hak yang sama, dan tetap bebas ‑dengan hak‑hak yang sama, dan sesungguhnya tujuan dari segala persekutuan politik ialah memelihara hak‑hak bawaan kodrat manusia yang dapat dialihkan.

Pentingnya HAM seperti dikemukakan para pemikir maupun pernyataan HAM yang dilakukan berbagai negara di atas baru terbatas pada bangsa dan negara tertentu. Juga mencerminkan bahwa HAM yang merupakan karunia sang Khalik tidak dengan sendirinya langsung dinikmati manusia tanpa perjuangan. Bahkan manusia di berbagai belahan dunia pada umumnya belum sepenuhnya menikmati HAM. Misalnya, teror Nazi di Eropa telah membunuh kira-kira 6 juta orang Yahudi, 5 juta umat Protestan, 3 juta umat Katolik Roma, 500.000 orang Gipsi (kelompok pengembara Asia di Eropa yang tidak ingin mempunyai tempat tinggal yang tetap), sebagaimana juga orang Ukrania, homo seksual, Polandia, Slovakia dan lain ‑ Iain yang tak terhitung jumlahnya.

Pada abad ke ‑20 misalnya Presiden AS Franklin Delano Rosevelt pada permulaan Perang Dunia II waktu berhadapan dengan Nazi Jerman yang menginjak ‑ injak HAM sebagaimana dikemukakan di atas, mengajukan The Four Freedoms (Empat Kebebasan), yaitu:

1. kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (fredom of speech);

2. kebebasan bragarna (freedom of relegion),

3. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear),

4. kebebasan dari kemelaratan (freedom from Want).

Oleh karena itu, dalam upaya menjamin perlindungan HAM bagi semua manusia diberbagai belahan dunia perlu ada kesepakatan bersama antara berbagal bangsa untuk bersama ‑ sama dalam negaranya maupun dalam pergaulan dunia ( internasional ) untuk menjamin dan melindungi warganya agar menikmati hak‑hak asasi manusia. Untuk mewujudkan kepentingan tersebut, maka Perserikalan Bangsa Bangsa (PBB), membentuk Komisi Hak Asasi Manusia pada tahun 1946 untuk merumuskan naskah internasional hak‑hak asasi manusia. Komisi Hak Asasi Manusia ( Commition of Human Right ) memulai sidangnya dalam bulan Januari 1947 di bawah pinipinan Ny. Franklin Delano Roosevelt. Hampir dua tahun kemudian, pada tanggal 10 Desember 1948, Sidang Umum PBB yang diadakan di istana Chailot, Paris menerima baik berupa Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM).

DUHAM menjabarkan "Hak ‑ hak yang tidak dapat dicabut dan diganggu gugat atas semua anggota rumpun manusia". Jaminan hak asasi manusia dalam DUHAM terdiri dari 30 pasal yang bersikan jaminan hak sipil dan politik, hak‑hak ekonomi, sosial dan kebudayaan. Jaminan hak sipil sebagai hak yang menyangkut kepentingan pribadi yang tidak boleh ada campur tangan pihak lain misalnya, hak beragama, hak membentuk keluarga, hak politik sebagai hak yang terkait dalam kehidupan bernegara, misalnya hak turut serta dalam pemerintah, hak atas perlindungan hukum yang sama, hak atus kebebasan berkumpul dan berserikat. Sedangkan jaminan hak ekonomi, sosial dan kebudayaan , antara lain meliuti: hak atas pekerjaan, hak mendapat pengajaran, hak kesehatan, hak jaminan sosial, hak turut serta dalam berkebudayaan, Deklarasi Ini menandai tonggak sejarah sebuah moral dalam sejarah komunitas bangsa ‑ bangsa,

Dengan demkian latar belakang lahirnya DUHAM dapat dikemukakan

a. Untuk mengurangi kekuasaan hukum negara atas warganya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kekejaman terhadap warga negaranya dan warga negara lain seperti terlihat pada masa Perang Dunia II yang dilakukan Nazisme dan ideologi nasional lain.

b. Memberikan perlindungan bagi individu menghadapi negara dimana ia menjadi warganya. Hal ini dimaksudkan bahwa setiap pelanggaran hak asasi oleh suatu negara kepada individu yang menjadi warganya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara internasional.Sebagai deklarasi maka fungsi DUHAM sebatas sebagai pedornan dalam pelaksanaan hak asasi internasional. Oleh karena itu, agar supaya dapat mengikat secara hukum bagi setiap negara, maka akan dikembangkan dalam bentuk perjajian (kovenan) Begitu pula prosedur dan aparatur Serta pengawasan terhadap pelaksanaan DUHAM akan dirinci lebih lanjut.

BERBAGAI INSTRUMEN HAM YANG BERLAKU SECARA INTERNASIONAL

Meskipun DUHAM telah di terima tetapi karena sifatnya sebagai deklarasi yaitu berupa pernyataan, maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga tujuan deklarasi sebagai pengakuan martabat manusia sulit diwujudkan, Untuk itu supaya tujuan DUHAM, dapat menjadi kenyataan diperlukan alat/instrumen HAM internasional.

Instrumen HAM internasional merupakan alat yang berupa standar- tandar pembatasan pelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan kesepakatan antar negara tentang jaminan HAM yang berupa undang – undang internasional HAM ( International Bill of Right) Undang ‑ undang internasional HAM tersebut bentuknya berupa kovenan (perjanjian) dan protokol , Kovenan , yaitu perjanjian yang mengikat bagi Negara - negara yang menandatanganinya. Istilah covenant (kovenan) digunakan bersarnaan dengan treaty (kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian). Sedangkan protokol merupakan kesepakatan dari negara ‑ negara penandatangannya yang memiliki fungsi untuk lebih lanjut mencapai tujuan ‑ tujuan suatu kovenan.

Ketika Majiis Umum PBB mengadopsi atau menyetujui sebuah konvensi atau protokol, maka terciptalah standar internasional , dan negara ‑ negara yang meratifikasi konvensi itu berjanji Untuk menegakkannya. Ada sekitar 30 kovenan yang telah diratitikasi sejak DUHAM dideklarasikan 50 tahun yang lalu. Pemerintah yang melanggar standar yang telah ditentukan konvensi kemudian dapat digugat oleh PBB.

Berbagai instrumen HAM yang berlaku secara internasional, diantaranya:

a. Kovenan International tentang hak ‑ hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Covenant on Economic, Social and Cultue Rights),

Kovenan ini lahir pada tuhun 1966, diadopsi pada 16 Desember 1975, dan berlaku pada 3 Januari 1976. Kovenan ini mengakui bahwa setiap manusia memiliki hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak ekonomi, sosial dan budaya mencakup:

1) hak atas pekerjaan,

2) hak untuk membentuk serikat kerja,

3)hak atas pensiun, hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan perumahan yang layak,

4) hak atas pendidikan.

b. Kovenan Internasional tentang Hak ‑ hak Sipil dan Politik ( The International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR).

Kovenan ini lahir tahun 1966, diadopsi pada 16 Desember 1975 dan berlaku pada 23 Maret pada 1976. Hak ‑ hak sipil dan politik yang dijamin dalam kovenan ini yaitu :

1 ) hak atas hidup,

2) hak atas kebebasan dan keamanan diri

3) hak atas keamanan di muka badan ‑ badan peradilan,

4) hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan, beragama,

5) hak berpendapat tanpa mengalami gangguan,

6) hak atas kebebasan berkurnpul secara damai,

7) hak untuk berserikat.

c. Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak‑Hak Sipil dan Politik.

Protokol opgional ini, diadopsi pada 16 Desember 1975, dan berlaku pada 23 Maret 1976. Protokol Opsional/pilihan berisikana pemberian tugas pada komisi Hak-Hak Asasi. Manusia untuk menerima dan mempertimbangkan pengaduan dari individu ‑ individu warga dalam wilayah kekuasaan negara peserta Kovenan yang menjadi peserta Protokol, yang mengaku telah menjadi korban pelanggaran terhadap salah satu hak yang dikemukakan dalam Kovenan Hak ‑hak Sipil dan Politik. Pengaduan itu dapat diajukan secara tertulis kepada Komisi Hak Asasi Manusia, setelah semua Upaya domestik (dalam negara warga yang bersangkutan) yang tersedia telah di tempuhnya, tetapi tidak menampakkan hasil.

d. Protokol Opsional Kedua terhadap Kovenan Internasional tentang hak ‑ hak Sipil dan Politik dengan tujuan Penghapusan hukuman Mati.(Protokol ini diadopsi pada 15 Desember 1989, dan berlaku pada 11 Juli 1991).

e. Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Agains Women / CEDAW)

Konvensi ini mulai berlaku tahun 1981. Dokumen ini merupakan alat hukum yang paling lengkap(komprehensif) berkenaan dengan hak ‑ hak asasi wanita, dan mcncakup peranan dan status mereka. Dengan demikian dokumen ini merupakan dasar untuk menjamin persamaan wanita di negara-negara yang meratifikasinya.

f. Konvensi Internasional penghapusan terhadap Semua bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Diskrimination).

g.Konvensi Hak – hak Anak ( Convention on the Rights of the Child).

Konvensi ini disepakatl Majlis Umum PBB dalam sidangnya ke 44 pada Desember 1989. Menurut konvensi ini pengertian anak yakni setiap orang yang masih berumur di bawah 18 tahun. Kecuali jika berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak menentukan batas umur yang lebih rendah dari 18 tahun. Konvensi ini dicetuskan karena ternyata di berbagai belahan dunia. Meskipun telah di deklarasikan DUHAM yang juga melindungi harkat anak-anak sebagai manusi, ternyata belum dilaksanakan dengan baik. Banyak anak dipekeriakan di bawah umur, di kirim ke medan perang, diperkosa, dan Perlakuan,anak sebagai manusia sepenuhnya masih diabaikan. MisaInya, anak ‑ anak tidak pernah didengar suara dan pandangan mereka, ketika menetapkan suatu kebijakan publik maupun kebijakan yang menyangkut anak sendiri. Padahal mereka akan terkena akibat atau akan merasakan dari setiap kebijakan publik yang diambil.

Dengan demikian instrumen HAM internasional dapat disimpulkan:

a. Wujud instrumen HAM internasional berupa Undang ‑ undang Intemasional HAM (Internasional Bill of Rights) yang bentuknya berupa, kovenan, atau konvensi atau perjanjian (treaty) dan protokol.

b. Konvensi maupun protokol akan berlaku dan mengikat secara hukum terhadap negara ‑negara yang telah menandatanganinya. Negara ‑ negara lainnya (yang tidak ikut menandatangani dalam konvensi) dapat meratifikasi pada waktu selanjutnya.

c. Ketika Majlis Umum PBB telah mengadopsi Suatu kovenan atau protokol, maka terciptalah standar internasional.

d. Konvensi maupun prolokol akan berlaku dalam suatu negara yang bersifat nasional (secara domistik) jika negara yang bersangkutan telah meratifiksinya.

LEMBAGA PERLINDUNGAN HAK AZASI MANUSIA INTERNASIONAL DAN PERANANNYA

Berbagai konvensi internasional HAM telah di buat, tidak secara otomatis atau dengan sendirinva negara ‑ negara yang telah menandatanganinva akan melaksanakannya. Oleh karena itu agar usaha pelaksanaan HAM internasional lebih dapat dijamin diperlukan pernbentukan lembaga perlindungan HAM internasional. Lembaga ‑ lembaga Perlindungan HAM Internasional, diantaranya :

a. Dewan Ekonomi dan Sosial ( Economic and Social Council / ECOSOC ).

Dewan PBB ini terutama memperhatikan masalah ‑ masalah polusi, perkembangan ekonorni, HAM dan kriminal. Badan ini dalam kaitannya dengan HAM memiliki peran menerima dan menerbitkan laporan HAM dalarn berbagai situasi.

b. Komisi Hak ‑ Hak Asasi Manusia (Commission on Human Right).

Komisi Hak Asasi Manusia yang penyebutan secara lengkapnya Komisi Hak‑Hak Manusia PBB (The United Nations Commision on Human Right/UNCHR),merupakan sebuah badan/lembaga yang.dibuat ECOSOC untuk membidangi HAM, yang merupakan salah satu dari sejumlah badan HAM internasional yang pertama dan terpenting. Peran Komisi Hak Asasi Manusia adalah memantau pelaksanaan dan menerima dan mempertimbangkan pemberitahuan dari setiap individu yang mengadu telah meniadi korban pelanggaran terhadap salah satu hak yang dikemukakan dalam Kovenan Hak‑Hak Sipil dan Politik. Pengaduan tidak akan di terima dari warga Negara yang negaranya tidak ikut serta menandatangani Protokol Fakultatif / Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan politik atau belum meratifikasinya.

c. Komisi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan

Kornisi ini berperan untuk memantau pelaksanaan HAM dan menerima pengaduan individu mengenai pelanggaran HAM sebagaimana yang dijamin dalam Kovenan Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

d. Komisi Diskriminasi Rasial.

Komisi ini berperan untuk memantau peIaksanaan HAM dan menerima pengaduan individu mengenai pelanggaran HAM sebagaimana yang di jamin dalam Konvensi Internasional Terhadap Semua Bentuk Diskriminasi Rasial.

c. Komisi hak‑hak anak.

Komisi ini berperan untuk memantau pelaksanaan HAM menerima pengaduan individu mengenai pelanggaran HAM, sebagaimana yang dijamin dalam Konvensi Hak‑Hak Anak.

f. Disamping lembaga ‑ lembaga perlindungan HAM bentukan PBB,

terdapat juga lembaga perlindungan HAM yang didirikan oleh masyarakat internasional di luar pemerintah dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau sering dikenal sebagai Organisasi Non Pemerintah (ORNOP)/ Non Governmental Organizations (NGOs). Beberapa diantaranya adalah organisasi besar yang bersifat internasional adalah Amnesty Internasional dan Palang Merah Internasional. ORNOP berperan penting Untuk memonitor cara kerja badan HAM intemasional seperti Komisi Hak Asasi Manusia (Comimission on Human Rights) juga berperan penting dalam kebijakan PBB di bidang HAM, dan banyak diantaranya memiliki konsultan resmi di PBB.

BEBERAPA KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI NEGARA LAIN

Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari ‑ hari kita temui pelanggaran HAM baik d Indonesia maupun di negara lain. Berikut pelanggaran HAM di negara lain:

a. Penindasan pemerintah Afrika Selatan terhadap ras kulit hitam oleh kulit putih. Orang kulit putih memberlakukan sistem pemisahan, penindasan dan eksploitasi di mana kebebasan bergerak dan hak ‑ hak politik, sosial dan ekonomi orang ‑ orang kulit hitam di batasi dengan tegas dan ketat. Mislanya : membagi ‑bagi negeri menjadi kawasan putih (Eropa) dan daerah pemukiman Afrika, dan masih ditambah lagi dengan membagi‑bagi orang apa yang dinamakan."wilayah kelompok", dan "bantustan" khusus disediakan untuk orang hitam Afrika, yang letaknya (terpencar dan tidak berhubungan satu sama lain)

b. Pembantaian massal orang Tutsi terhadap orang Huttu di Burundi, Rwanda, Afrika Tengah tahun 1994

c. Pembantaian Khmer Merah di Kamboja,Asia April 1975 sampai Januari 1979

d. Pembantaian Etnis di Bosnia oleh Serbia,Eropa

e. Pelanggaran HAM di Amerika Serikat (penyerangan dan pembantaian terhadap 300 suku Dakota di Woundeed Knee, pembunuhan Martin Luther King)

f. Pelanggaran HAM di Australia

g. Pelanggaran HAM di Perancis

Tanggapan terhadap pelanggaran HAM antara lain dengan :

1. Mengutuk ( bentuk tulisan, yang dipublikasikan lewat media massa)

2. Mendukung upaya lembaga yang berwenang untuk menindak secara tegas pelaku pelanggaran HAM

3. Mendukung upaya terwujudnya jaminan restitusi, kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban

Faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM

  1. Aliran Universalisme Vs Partikularisme
  2. Adanya dikotomi Individualisme dan Kolektivisme
  3. Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum
  4. Pemahaman yang belum merata (Sipil maupun militer)